Wahabi Lingkungan? Saya Justru Melihat Sebaliknya!
Ketika Ulil menyebut aktivis lingkungan sebagai “wahabi lingkungan”, saya justru melihat ironi besar, Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia. Saya mencoba merespons tajam terhadap narasi yang menyesatkan, sekaligus ajakan untuk membela keberlanjutan dan keadilan ekologis bukan membungkamnya dengan label.
ENVIRONMENTAL ETHICSSOCIALAL QURAN AND AS SUNAH
Chairifansyah
6/16/20252 min read


Beberapa hari lalu saya melihat debat di Kompas TV antara Ulil Abshar Abdalla dan aktivis Greenpeace. Topiknya seputar lingkungan, tambang, dan masa depan energi kita. Tapi ada satu hal yang langsung bikin saya angkat alis: Ulil menyebut aktivis lingkungan seperti Greenpeace sebagai “wahabi lingkungan”. Saya ulangi! wahabi lingkungan.
Jujur, saya agak kecewa. Bukan karena saya membela salah satu pihak secara membabi buta, tapi karena saya berharap Ulil yang juga tokoh publik, cendekiawan, dan Ketua PBNU mestinya peka terhadap keadilan sosial dan ekologi.
Ketika Analogi Gagal Menggiring Opini
Menyamakan sikap tegas para pejuang lingkungan dengan fanatisme keagamaan seperti wahabi itu bukan hanya ngawur, tapi juga berbahaya. Ini bukan soal beda pendapat, ini soal bagaimana opini publik bisa diarahkan dengan analogi yang ngawur.
Greenpeace menolak tambang bukan karena mereka “dogmatis”, tapi karena mereka melihat sendiri kerusakan ekologis yang parah, reklamasi yang sering gagal, dan masyarakat adat yang jadi korban. Apakah menolak kehancuran itu sebuah bentuk ekstremisme? Atau justru suara akal sehat yang tersisa?
Kalau semua yang tidak kompromi terhadap kerusakan kita cap sebagai “wahabi”, maka bisa-bisa siapa pun yang melawan ketidakadilan akan dicap fanatik, kan begitu logikanya!
Si Ulil ini ingin mendorong pendekatan yang lebih seimbang, yang katanya “reasonable environmentalism”. Tapi mari kita jujur, istilah itu seringkali jadi bungkus manis untuk kompromi yang lebih menguntungkan korporasi tambang dan elit ekonomi, ya kan?. Di balik kata “rasional”, seringkali tersembunyi kepentingan yang tidak ingin diganggu oleh suara-suara kritis.
Yang saya khawatir adalah ketika label seperti “wahabi lingkungan” digunakan untuk membungkam aktivis yang selama ini bersuara lantang. Ini bukan cuma soal perdebatan istilah, tapi soal siapa yang punya kuasa dalam narasi publik. Dan dalam konteks ini, Ulil secara tidak langsung sedang membantu delegitimasi gerakan lingkungan dengan cara yang halus tapi mematikan.
Yang diperjuangkan aktivis lingkungan itu bukan ideologi tertutup, tapi fakta loh. Bukti. Data. Hutan yang gundul. Air yang tercemar. Masyarakat yang kehilangan tanah. Kalau kita masih menyebut ini sebagai bentuk fanatisme, maka mungkin kita sudah terlalu lama hidup dalam zona nyaman dan lupa mendengarkan mereka yang paling terdampak.
Bagi saya, gerakan lingkungan bukan gerakan “iman”, tapi gerakan yang justru paling realistis. Mereka melihat bahwa bumi ini sudah rusak parah, dan kalau tidak ada yang berani bersikap tegas, kita semua yang akan menanggung akibatnya.
Ironi Seorang Ulil
Yang paling ironis, si Ulil pernah menyulut kontroversi besar karena pernyataannya yang seolah-olah mendukung revisi Al-Qur’an. Pernyataan yang menyiratkan bahwa isi kitab suci tak lagi relevan di zaman modern. Ia pernah berkata bahwa sebagian ayat perlu ditafsir ulang atau bahkan “diperbarui”, sinting kan?? yang membuat sebagian umat bertanya: apakah ia benar-benar percaya pada keotentikan wahyu?
Sekarang, orang yang dulu meragukan kemurnian Al-Qur’an justru membungkam kritik lingkungan dengan analogi keagamaan? Padahal, justru dalam Al-Qur’an kitab yang dulu pernah ia tantang jelas disebut bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat ulah manusia. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Rum: 41). Itu bukan kata Greenpeace. Itu ayat Tuhan yang bahkan lebih radikal dalam menyebut akar masalah.
Sebagai orang NU, harusnya si Ulil punya tanggung jawab moral untuk menjadi penyeimbang, bukan pembela industri. Punya kewajiban membela umat dan bumi, bukan menyebar diksi yang membingungkan dan membahayakan arah perjuangan lingkungan. Dalam debat itu, saya merasa ulil lebih terdengar seperti juru bicara industri tambang daripada pembela kemaslahatan jangka panjang. Oh iya NU dapet konsesi tambang, wajar!
Kritik harus dilawan dengan argumen, bukan dengan label! Dan hari ini, saya berdiri bersama mereka yang berani berkata: cukup sudah. Kita tidak bisa terus kompromi atas nama “keseimbangan”, ketika yang satu mengeruk dan yang lain hanya disuruh bersabar. Kampret!!