Soeharto Bukan Pahlawan, dan Kita Nggak Perlu Berdamai dengan Kejahatan Sejarah

Saya menolak gagasan “berdamai dengan sejarah” yang justru dijadikan pembenaran untuk melupakan kejahatan masa lalu. Karena bagi saya, kepahlawanan bukan soal pembangunan atau stabilitas ekonomi tapi soal moral dan keberanian menjaga kemanusiaan. Saya mau mengajak kita berpikir ulang: apakah bangsa yang mudah memaafkan pelanggar sejarah masih bisa disebut bangsa yang belajar darinya?

POLITICSHUMANITYSOCIAL

Chairifansyah

11/1/20252 min read

Beberapa hari lalu saya baca pernyataan dari salah satu politisi PSI yang bilang kalau Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional. Katanya, kita perlu menilai Soeharto secara utuh nggak cuma dari sisi kontroversinya. Bahkan dia sempat menyindir PDI-P yang disebut belum berdamai dengan sejarah. Begitu saya baca rasanya campur aduk antara heran dan muak. Karena kalau kita bicara soal Soeharto, kita bicara tentang seorang diktator yang berkuasa tiga dekade dengan menindas kebebasan rakyat, menumpas lawan politik dan menutup rapat-rapat luka kemanusiaan yang belum pernah disembuhkan.

Jujur saja argumen “menilai secara utuh” itu kedengarannya bijak tapi sebenarnya berbahaya. Karena di balik kalimat itu ada upaya untuk menetralkan kejahatan negara dengan dalih keseimbangan sejarah. Iya, Soeharto membawa stabilitas ekonomi lalu juga membangun infrastruktur dan sempat membawa Indonesia pada masa swasembada pangan pada saat itu. Tapi apa gunanya stabilitas yang dibangun di atas rasa takut? apa nilainya pembangunan kalau dilakukan dengan membungkam suara rakyat sendiri? Ini bukan soal melihat sejarah secara hitam putih tapi soal kejujuran moral. Karena bagaimana pun tidak ada pembangunan yang bisa menebus darah manusia dan hilangnya kebebasan berpikir.

Saya sering dengar kalimat “kita harus berdamai dengan sejarah”. Tapi saya rasa banyak orang salah paham soal makna dari berdamai itu sendiri. Berdamai dengan sejarah bukan berarti melupakan dosa masa lalu atau menutupi luka yang belum sembuh. Berdamai berarti mengakui kebenaran dan menghadapi kenyataan pahitnya serta memastikan hal yang sama tidak terjadi lagi. Lalu bagaimana mungkin kita bisa berdamai kalau para pelaku kejahatan kemanusiaan justru diangkat menjadi pahlawan? bukan perdamaian! itu namanya pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa.

Ketika politisi mulai bicara soal kepahlawanan dengan nada populis, saya melihat akan ada bahaya yang lebih besar. Saya justru melihat bahwa sejarah sedang dicuci pelan-pelan direvisi agar tampak bersih dan heroik. Lalu publik diminta menerima itu sebagai bentuk kedewasaan. Padahal ini bukan soal move on, ini soal keberanian menatap masa lalu tanpa takut kehilangan kenyamanan politik hari ini.

Gelar “Pahlawan Nasional” itu bukan hadiah atas pencapaian ekonomi atau prestasi pembangunan. Itu soal moral, soal integritas dan juga soal keberanian berdiri di sisi yang benar ketika kekuasaan menjadi menindas. Soeharto mungkin punya jasa di beberapa hal tapi terlalu banyak luka yang dia tinggalkan untuk disebut pahlawan. Dari pembantaian 1965, pembungkaman media, penembakan misterius, hingga pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan Papua semua itu adalah sejarah kelam yang nyata dan bukan opini.*

Kalau bangsa ini sampai benar-benar memberi Soeharto gelar pahlawan, artinya kita sedang menulis ulang moral sejarah bangsa. Kita sedang berkata pada generasi muda bahwa kekuasaan dan pelanggaran bisa dimaafkan asal punya hasil ekonomi. Dan kalau itu terjadi, maka kita bukan bangsa yang belajar dari sejarah, tapi bangsa yang pandai melupakannya.

Saya tidak menolak berdamai dengan sejarah. Saya hanya menolak berdamai dengan kejahatan yang belum pernah diakui. Karena yang kita butuhkan bukan pahlawan palsu tetapi keberanian untuk tetap jujur pada luka kita sendiri.

* Berikut saya berikan referensi yang bisa dibaca terkait pelanggaran Soeharto yang bisa dijadikan sumber rujukan:

The National Security Archive – Indonesia Mass Murder, 1965–66: U.S. Embassy Files
https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2017-10-17/indonesia-mass-murder-1965-us-embassy-files

Aritonang Margaret S, 2012. Indonesia: Evidence of ‘systematic killings’ in 1965
https://www.europe-solidaire.org/spip.php?article25163

Jess Melvin, 2018. There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings
https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/theres-now-clear-proof-that-soeharto-orchestrated-the-1965-killings/