Politik Tanpa Pertarungan Gagasan
Politik kini telah berubah jadi panggung kompromi dan kekeluargaan demi kekuasaan, bukan lagi arena pertarungan gagasan.
POLITICS
Chairfansyah
2/2/20252 min read
Indonesia hari ini berada di periode politik yang terlihat damai penuh dengan pelukan, pegangan tangan, dan senyum untuk kamera. Saya melihat bagaimana lawan menjadi teman, oposisi semakin dekat dengan pemerintah, dan semua tampak akur dalam satu barisan kekuasaan. Tapi bagi saya, di balik keramahan yang ditampilkan itu ada sesuatu yang terasa hilang: keberanian untuk bertarung secara ideologs.
Menurut saya, politik kini telah berubah menjadi panggung kompromi dan kekeluargaan demi kekuasaan. Ia bukan lagi arena pertarungan gagasan. Kita sedang menyaksikan politik yang telah kehilangan substansi. Tidak ada lagi perdebatan tajam tidak ada kritik yang memaksa kita berpikir ulang. Semuanya terlihat nyaman dan menurut saya kenyamanan itu berbahaya karena bisa membunuh dinamika. Padahal politik yang sehat justru lahir dari pertengkaran ide. Dari perbedan yang keras tapi jujur. Dari ketidaksepakatan yang membuka ruang diskusi dan pemahaman baru.
Ironisnya, saya melihat para elite politik justru menjadi pihak yang paling menikmati situasi ini. Mereka tak perlu lagi membangun argumen dan memperkuat basis ideologi, atau membuktikan kapasitas intelektual. Cukup jalin relasi bagi-bagi posisi lalu tampil tersenyum seolah semuanya berjalan baik-baik saja. Kekuasaan jadi satu satunya tujuan bukan alat perjuangan gagasan. Tidak ada lagi kubu ideologis yang ada hanya kelompok pragmatis. Dan menurut saya ini benar-benar ironis.
Yang lebih membuat saya khawatir, publik pun tampak tenang-tenang saja. Hanya ada segelintir gelombang protes, tidak ada gejolak besar. Bahkan banyak orang yang saya temui menganggap situasi ini sebagai tanda kedewasaan politik. Tapi saya justru melihatnya sebagai tanda kelelahan kolektif. Masyarakat terlalu lama dijejali konflik politik yang kosong, penuh drama tanpa substansi. Akhirnya, ketika muncul wajah politik yang "adem" meskipun palsu banyak yang memilih diam, atau bahkan ikut merayakannya.
Namun justru di titik inilah, menurut saya, bahaya paling besar muncul. Ketika rakyat tak lagi menuntut gagasan, dan elite tak lagi merasa perlu menyediakannya, di situlah demokrasi mulai kehilangan maknanya. Kita bersepakat untuk tidak berbeda. Kita menganggap kebersamaan lebih penting daripada pertanyaan. Padahal, menurut saya, dalam politik, pertanyaan adalah nyawa. Pertanyaan terhadap yang dominan. Pertanyaan terhadap arah yang sedang diambil. Tanpa itu, politik kehilangan fungsi kritisnya. Ia berubah menjadi panggung senyap yang penuh basa-basi.
Bagi saya, politik bukan soal menjaga perasaan. Politik adalah keberanian untuk tidak sepakat. Dan jika itu hilang maka yangkita miliki bukan lagi demokrasi melainkan hanya teater kekuasaan yang membosankan.