“Pihak Asing Tidak Senang”: Narasi Basi untuk Menutupi Luka di Tanah Papua
Ketika tambang milik negara merusak Raja Ampat, narasi “pihak asing tidak senang” kembali digunakan. Tapi benarkah ini soal kedaulatan, atau sekadar pengalihan isu? Artikel ini mengajak kita merenung dari etika lingkungan hingga peringatan dalam Al-Qur’an.
SOCIALENVIRONMENTAL ETHICS
Chairifansyah
6/8/20252 min read
Beberapa hari lalu saya membaca pernyataan dari Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia: “Ada pihak asing yang tidak senang dengan proyek hilirisasi Indonesia.” Di tengah maraknya isu kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat aktivitas tambang nikel milik ANTAM perusahaan BUMN, saya merasa pernyataan ini terlalu akrab. Kita sudah sering mendengarnya. Narasi “pihak asing” seperti mantra lama yang terus diulang setiap kali ada sorotan publik terhadap proyek besar pemerintah. Tapi apakah ini benar soal kedaulatan? Atau upaya pengalihan isu dari kerusakan yang nyat di depan mata kita?
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau yang indah. Ia adalah surga keanekaragaman hayati laut dunia. Tapi kini, kawasan ini rusak. Air lautnya keruh, pesisirnya digali, dan masyarakat adatnya merasa tersingkir. Ironisnya ini bukan ulah korporasi asing. Tapi proyek tambang milik negara sendiri. Lalu pemerintah datang membawa narasi lawas: “pihak asing tidak suka Indonesia maju.” Saya ingin tanya: apakah benar itu masalahnya? Atau justru ada kepanikan ketika publik mulai sadar, bahwa kerusakan ini kita buat sendiri?
Dalam diskursus etika lingkungan (environmental ethics), alam bukan sekadar objek eksploitasi ekonomi. Alam adalah subjek moral makhluk yang punya hak untuk dijaga, dihargai, dan diwariskan. Kita, manusia hanya bagian dari sistem ekologis yang lebih besar. Bukan penguasa tunggal. Etika ini seharusnya menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pembangunan. Tapi sayangnya, yang kita lihat hari ini adalah pembangunan yang melupakan moralitas ekologis. Hirilisasi bukan masalah. Tapi cara kita mengeksekusinya bisa jadi masalah besar. Kalau hilirisasi dijalankan tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan, tanpa menghormati hak masyarakat lokal, dan tanpa transparansi maka itu bukan kemandirian ekonomi. Itu perusakan sistematis yang dilegalkan.
Bahkan dalam Al-Qur’an, sudah ada peringatan tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh tangan manusia:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS. Ar-Rum: 41) Ayat ini sangat relevan dengan situasi kita hari ini. Kerusakan di Raja Ampat, pencemaran laut, hutan yang digunduli semua itu adalah konsekuensi dari pilihan ekonomi yang tidak memperhitungkan keberlanjutan. Dan ayat itu juga mengandung harapanm yaitu agar kita kembali. Agar kita sadar.
Ketika saya bersuara, ketika publik marah, ketika ada yang menulis tentangkerusakan alam itu bukan berarti kami mendukung “pihak asing.” Justru sebaliknya, kami mencintai tanah ini, karena itu kami marah ketika tanah ini dilukai. Jangan bungkam kritik dengan nasionalisme sempit. Jangan lempar kesalahan ke luar negeri, ketika kerusakan jelas terjadi oleh tangan kita sendiri. Saya tidak ingin proyek hilirisasi dihentikan. Tapi saya ingin proyek ini dijalankan dengan moral, etika, dan tanggung jawab. Bukan dengan dalih “demi kemajuan” tapi mengorbankan masa depan.
Dan kalau memang ada pihak asing yang tak senang biarkan. Kita tidak butuh persetujuan asing untuk menjaga negeri ini. Tapi kita juga tidak bisa terus menyalahkan asing saat kita sendiri merusaknya. Karena sebagaimana alam pernah memelihara kita, sekarang tugas kita untuk menjaga alam. Dan tugas negara adalah memimpin dengan kejujuran bukan propaganda.
Kalau kamu baca ini dan merasa resah juga, tolong jangan diam. Tulis, bicara, suarakan! Karena alam tidak bisa bicara tapi kita bisa.