Permusuhan Israel-Iran: Ideologi, Proksi, dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Saya mengajak kalian menyelami konflik panjang antara Israel dan Iran dari akar ideologinya, jaringan proksi yang mereka bentuk, sampai kepentingan strategis di Timur Tengah. Saya juga bahas bagaimana Palestina sering jadi korban di tengah perseteruan ini, serta potensi pecahnya perang terbuka, apalagi saat Iran disebut-sebut makin dekat memiliki senjata nuklir. Sebuah refleksi kritis dari sudut pandang saya pribadi.

SECURITYPOLITICSWAR AND PEACEMIDDLE EAST

Chairifansyah

6/14/20253 min read

A group of fighter jets sitting on top of each other
A group of fighter jets sitting on top of each other

Menurut saya, hubungan antara Israel dan Iran adalah salah satu konflik paling kompleks dan berbahaya di kawasan Timur Tengah. Permusuhan mereka tidak cuma soal agama atau perebutan pengaruh politik regional, tapi juga menyangkut ideologi, sejarah, dan keterlibatan aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Rusia, dan berbagai kelompok proksi. Di tulisan ini, saya ingin mengajak menelusuri akar konflik, kepentingan strategis kedua negara, dan bagaimana Palestina seringkali terjebak di tengah pusaran ini.

Akar Permusuhannya adalah dari sekutu jadi musuh ideologis dimana sebelum Revolusi Iran tahun 1979, Israel dan Iran sebenarnya punya hubungan diplomatik dan kerja sama intelijen yang erat. Keduanya sama-sama berorientasi ke barat dan melihat Arab nasionalis sebagai ancaman bersama. Tapi semuanya berubah ketika Ayatollah Khomeini menggulingkan Shah Iran dan mendirikan Republik Islam Iran.

Iran pasca-revolusi menjadikan anti-Zionisme sebagai bagian dari doktrin resminya. Israel dilabeli sebagai "Setan Kecil" dan simbol penindasan terhadap rakyat Palestina. Bagi Teheran, mendukung perjuangan Palestina bukan cuma agenda politik, tapi juga misi ideologis dan religius. Menurut saya, inilah titik balik yang membuat permusuhan Iran-Israel tidak lagi sekadar pragmatis, tapi juga bersifat eksistensial.

Iran ingin jadi kekuatan utama di Timur Tengah lewat pendekatan Syiah dan retorika revolusioner anti-Barat. Untuk mencapai ambisi itu, Iran membangun jaringan proksi militer dan politik di berbagai negara:

  • Hizbullah (Lebanon): Didirikan dan didanai Iran sejak 1980-an, Hizbullah jadi ujung tombak perlawanan terhadap Israel di utara.

  • Hamas dan Jihad Islam (Gaza): Meski Sunni, kelompok ini tetap menerima dukungan Iran karena punya musuh bersama: Israel.

  • Milisi Syiah di Irak dan Suriah: Iran menguat pasca-invasi AS ke Irak dan mendukung rezim Bashar al-Assad di Suriah.

  • Houthi (Yaman): Iran mendukung Houthi untuk melemahkan Arab Saudi dan memperluas pengaruhnya di Semenanjung Arab.

Jaringan ini disebut "Poros Perlawanan" dan dipakai Iran untuk menyeimbangkan kekuatan melawan AS dan aliansi Israel-Arab. Buat Israel, Iran adalah ancaman langsung dan nyata. Bukan cuma karena retorika dari para pemimpin Iran tapi juga karena program nuklir Iran yang dicurigai punya tujuan militer. Kemampuan militer dalam mengembangkan rudal jarak jauh yang bisa menjangkau Israel juga menjadi alasan Israel, belum lagi adanya kehadiran militer Iran di Suriah, dukungan Iran terhadap Hizbullah yang punya ribuan roket. Israel merespons ancaman ini dengan berbagai aksi militer terbuka dan tertutup, diantaranya membunuh ilmuwan nuklir Iran dan menyerang gudang senjata di Suriah dan Lebanon serta melancarkan serangan siber ke infrastruktur Iran.

Selama dua dekade terakhir, konflik Israel-Iran berlangsung sebagai "perang bayangan" penuh sabotase, drone, dan operasi rahasia. Tapi tahun 2024, ketegangan meningkat tajam. Setelah Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus dan membunuh komandan Garda Revolusi, Iran membalas dengan ratusan drone dan rudal. Meski banyak yang dicegat ini jadi salah satu serangan langsung terbesar. Israel tak tinggal diam dan menyerang fasilitas militer di wilayah Iran. Meski belum sampai tahap perang besar, risiko konflik regional sangat nyata bisa melibatkan AS, Arab Saudi, bahkan Rusia.

Palestina: Antara Solidaritas dan Arena Proxy

Iran sering mengklaim dirinya pembela Palestina. Mereka mendukung Hamas dan Jihad Islam, tapi menurut saya, kadang dukungan ini lebih strategis daripada tulus. Palestina jadi alat dalam konflik yang lebih besar: Iran vs Israel, Syiah vs Sunni, blok anti-Barat vs pro-Barat. Sementara itu Israel terus menindas Palestina lewat pendudukan, permukiman ilegal, blokade Gaza, dan kekerasan militer dan juga pelanggaran hak asasi manusia yang nyata dan sistematis.

Permusuhan Israel-Iran nggak akan selesai dalam waktu dekat. Masalahnya terlalu dalam, menyentuh ideologi, kekuasaan, dan sejarah panjang. Tapi yang paling menderita tetap rakyat sipil terutama Palestina yang terus jadi korban. Yang bikin saya makin khawatir, ketegangan ini bisa berubah jadi perang terbuka. Kalau sampai terjadi, dampaknya bisa menyebar ke seluruh Timur Tengah, bahkan global. Apalagi sekarang Iran disebut-sebut selangkah lagi punya kemampuan bikin senjata nuklir sesuatu yang pasti bakal bikin Israel dan sekutunya makin gelisah.

Buat saya, penting banget untuk nggak terjebak narasi hitam-putih. Mengkritik Israel bukan berarti antisemit, dan membela Palestina bukan berarti membenarkan kekerasan. Yang kita butuhkan adalah keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian yang sejati bukan perdamaian yang hanya menguntungkan penindas.