Pemilih muda, pilih pemimpin itu harus yang punya konseptual
Generasi Z perlu adanya penguatan karakter dan pengasahan terhadap integritas diri dan belajar memaknai hidup yang merupakan dasar dalam pengembangan kesadaran manusia. Gen Z harus memiliki kemampuan logika berfikir sekaligus memiliki Critical Thinking yang kuat.
SOCIAL
Chairifansyah
12/1/20232 min read
Itulah kenapa, menurut saya, penguatan karakter dan pembentukan integritas menjadi sangat penting bagi generasi ini. Gen Z harus belajar untuk tidak hanya berpikir cepat, tapi juga berpikir dalam. Tidak hanya cerdas secara informasi, tapi juga cerdas secara etika dan logika. Apalagi, kita sedang menuju momen krusial Pemilu 2024.
Sebagai generasi yang jumlahnya mendominasi dalam daftar pemilih, Gen Z akan memainkan peran besar dalam menentukan arah bangsa. Tapi saya khawatir, jika Gen Z tidak mempersenjatai diri dengan critical thinking, maka mereka hanya akan menjadi penonton dalam pesta demokrasi yang dipenuhi dengan sensasi, gimmick, dan drama politik yang viral.
Saya melihat saat ini banyk calon pemimpin atau lebih tepatnya tim sukses mereka yang mulai merancang kampanye untuk menyasar Gen Z. Mereka tampil dengan gaya kasual, melempar jargon yang relatable, bahkan membuat konten TikTok yang menggemaskan. Semua dilakukan demi satu hal yaitu atensi. Tapi saya ingin mengajak Gen Z untuk berhenti sejenak dan berpikir, apakah gaya mereka mencerminkan isi kepala mereka? Apakah program yang ditawarkan benar-benar menjawab masalah bangsa?
Bagi saya, dalam memilih pemimpin, intelektualitas harus lebih diutamakan daripada elektabilitas. Pemimpin yang baik tidak hanya pandai tampil di depan kamera, tapi mampu menyusun gagasan konseptual dan mengambil keputusan dengan dasar yang jelas. Kita harus memilih pemimpin yang punya visi jauh ke depan, bukan hanya yang populer di masa sekarang.
Saya tahu dalam politik, populisme sering kali menjadi jalan pintas untuk meraih suara. Tapi populisme itu berbahaya. Ia membungkus kepentingan jangka pendek dengan wajah ramah dan gaya yang viral, tanpa menyentuh akar persoalan bangsa. Lebih parah lagi, populisme kadang justru memelihara feodalisme, menjauhkan rakyat dari keadilan dan kesejahteraan.
Itulah mengapa saya percaya, Gen Z harus lebih berani menguji calon pemimpinnya. Tanyakan visi mereka, nilai cara berpikir mereka, ukur sejauh mana integritas dan moralitas mereka. Jangan terpikat hanya karena sering muncul di FYP atau punya gimmick lucu di kampanye. Demokrasi bukan panggung viral. Demokrasi adalah medan pertarungan gagasan.
Kalau kita ingin masa depan yang lebih baik, maka saya pikir kita harus mulai dari satu hal yang sederhana tapi penting yaitu berpikir sebelum memilih. Dan memilih bukan karena yang paling sering muncul di layar, tapi karena yang paling layak untuk membawa kita maju.
Sebagai seseorang yang banyak mengamati perilaku generasi muda, saya selalu tertarik dengan karakter Gen Z, generasi yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi. Gen Z dikenal terbuka, cinta sains, dan punya akses yang luar biasa terhadap informasi global. Namun, ada hal yang menurut saya agak ironis: di balik keterbukaan dan rasa ingin tahu itu Gen Z juga sangat rentan percaya pada hoaks dan segala sesuatu yang viral bahkan tanpa verifikasi.
Saya paham, ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Gen Z lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital yang membentuk cara berpikir dan cara mereka mengonsumsi informasi. Sayangnya, dalam banyak kasus, mereka terlalu tergantung pada apa yang ramai di internet tanpa sempat merenung atau berpikir kritis.