Optimisme Palsu dan Statistik Bohong: Saat Negara Takut Pada Kebenaran
Sebuah kritik tajam terhadap pemerintah yang menggunakan statistik sebagai alat propaganda, bukan transparansi. saya ingin mengurai bagaimana optimisme palsu dibangun di atas manipulasi data dan sejarah dengan landasan teori Statistical Authoritarianism.
POLITICSHUMANITYSOCIALECONOMY
Chairifansyah
7/26/20252 min read
Kadang saya merasa hidup ini seperti sandiwara besar yang dimainkan dengan rapi. Bagi saya negara memerankan tokoh sukses, dibalut statistik pertumbuhan dan grafik optimis, serta capaian kemiskinan yang mereka bilang “turun”. Tapi, ketika BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan bahwa tingkat kemiskinan nasional pada Maret 2025 turun menjadi 8,47 % (sekitar 23,85 juta orang) dan diangap sebagai level terendah dalam dua dekade terakhir saya bukannya merasa lega melainkan curiga besar. Total kemiskinan ekstrem juga dilaporkan turun menjadi 2,38 juta jiwa seperti data yang saya kutip dari Antara News.
Pemerintah menetapkan garis kemiskinan per kapita sebesar Rp 609.160 per bulan (~US$37) , Namun saya bertanya bagaimana mungkin seseorang yang hidup di bawah Rp 20 ribu sehari dianggap miskin? Bagaimana jika orang miskin tunawisma misalnya yang setiap hari mereka hanya bisa makan Rp 30 ribu dia tidak dianggap miskin oleh statistik resmi, padahal dia sendiri tidak punya rumah, tidak punya akses ke pendidikan, layanan kesehatan, bahkan kehidupan yang layak?
Dan menjadi lebih mencengangkan saat kita melihat data Bank Dunia. Dengan metode global berdasarkan PPP (purchasing powr parity), Bank Dunia memperbarui garis kemiskinan internasional, yakni US$3,00 per hari untuk standar ekstrem, dan US$8,30 per hari untuk negara dengan status uppermiddle income seperti Indonesia. Hasilnya? Menurut standar uppermiddle income, sekitar 68,3 % penduduk Indonesia atau sekitar lebih dari 190 juta orang digolongkan sebagai miskin pada tahun 2024 pip.worldbank.org.
Bisa dibayangkan perbedaan dramatisnya kan? dimana BPS bicara 8,5 %, Bank Dunia menyebut lebih dari 60 %. Mana yang lebih mencerminkan realitas rakyat kecil? Saya memilih mempercayai Bank Dunia, karena pemerintah kita semakin lihai melakukan Statistical Authoritarianism menghina kritk dengan statistik yang sudah dimanipulasi untuk legitimasi, bukan akurasi.
Statistical Authoritarianism adalah cara berkuasa secara halus bukan dengan represi fisik tetapi dengan angka. Statistik digunakan bukan untuk mencerminkan realitas tetapi untuk menciptakan versi realitas yang menguntungkan penguasa. Publik dihipnotis dengan angka, seperti yang pemerintah katakan “semua baik‑baik saja, jangan pesimis.” Siapa pun yang mempertanyakan angka itu mau ekonom independen atau akademisi akan dicap sebagai pengganggu stabilitas.
Saya tidak ingin hidup di masyarakat yang nilai kesejahteraannya hanya ditentukan oleh grafik naik di PowerPoint. Saya ingin realitas bukan narasi indah yang dibuat dari data yang dikurasi. Jika miskin itu di atas Rp 600 ribu per bulan, maka banyak tunawisma yang makan dengan Rp 30 ribu pasti dianggap “cukup” padahal ia tidak punya rumah.
Bahkan masa lalu pun dibentuk sedemikian rupa supaya mendukung narasi kekuasaan hari ini misalnya tragedi politik dibungkam, tokoh penindas dibersihkan dari memori kolektif, sejarah dibingkai sebersih versi buku propaganda. Statistik dan sejarah sama-sama dimanipulasi untuk membentuk legitimasi semu.
Saya yakin kita harus berhenti menjadikan pesimisme sebagai dosa. Pesimisme yang tulus adalah bentuk cinta yang sehat terhadap bangsa. Dari keraguanlah kita bisa mulai bertanya apakah data ini mencerminkan kondisi nyata rakyat? Apakah sejarah ini milik bersama atau sudah ditarik dan dikurasi oleh kekuasaan?
Jika pemerintah sungguh ingin negara ini besar dan beradab, jangan takut membuka kebenaran bukan hanya kepada dunia, tetapi kepada rakyatnya sendiri. Kita semua disini tidak butuh angka yang cantik. Kita hanya butuh angka yang sebenarnya. Kita tidak perlu retorika pembangunan tanpa bukti. Kita butuh kenyataan yang bisa disentuh dan diperbaiki bersama. Sebelum semua itu bisa terjadi kita harus terlebih dahulu menyadari tidak semua yang disebut “fakta” oleh negara itu benar-benar fakta. Kadang itu hanya narasi berbalut angka, atau mungkin hanya sebuah retorika?. Dan kalau kita terus diam? Maka mereka menang.
Jadi saya ajak kamu untuk jangan diam!