Narasi Tunggal, Musuh Demokrasi
Di tengah hiruk pikuk informasi yang seolah tak terbendung hari ini, saya justru melihat satu ancaman yang paling berbahaya, narasi tunggal. Ia tidak berisik, tapi ia mematikan. Ia hadir dalam wajah yang tampak santun mengatasnamakan persatuan, stabilitas, atau nasionalisme. Tapi di balik retorika itu, ada kecenderungan membungkam, menyeragamkan pikiran, dan memaksa kita percaya bahwa hanya ada satu cara melihat dunia. Demokrasi, yang seharusnya tumbuh subur dari perbedaan dan perdebatan, perlahan dibonsai menjadi ruang sempit di mana berpikir berbeda dianggap menyimpang.
POLITICSSOCIALPHILOSOPHY
Chairifansyah
7/12/20253 min read
Dalam kehidupan yang katanya demokratis ini, saya sering merasa ada yang aneh. Di satu sisi, kita bebas bicara, bebas memilih, bebas berpendapat. Tapi di sisi lain, kenapa seolah olah hanya ada satu versi cerita yang selalu diulang? Kenapa hanya satu sudut pandang yang terus disuarakan baik oleh media, pemerintah, maupun orang-orang yang punya kekuasaan membentuk opini publik?
Saya percaya bahwa demokrasi seharusnya memberi ruang untuk semua suara, bukan hanya suara mayoritas atau suara yang paling keras. Tapi realitas hari ini menunjukkan sebaliknya. Kita dibanjiri informasi setiap hari, tapi yang dominan hanya satu narasi. Ini yang saya sebut sebagai narasi tunggal dan saya yakin ini adalah salah satu ancaman paling serius bagi demokrasi.
Narasi tunggal bukan cuma tentang siapa yang bicara paling keras tapi juga tentang siapa yang diizinkan bicara dan siapa yang disingkirkan secara halus atau terang-terangan. Kita sering melihat ini dalam berbagai isu besar. Dalam kasus Papua misalny, narasi yang terus diulang selalu soal "keamanan", "persatuan", "separatisme", atau "gangguan KKB". Tapi di balik semua itu saya bertanya-tanya, bagaimana dengan sejarah panjang kekerasan yang dialami warga Papua? Bagaimana dengan hak dasar mereka yang tidak pernah dipenuhi? Mengapa kita jarang sekali mendengar suara mereka sendiri?
Atau ketika membahas Palestina. Banyak media besar dunia menggunakan istilah seperti "Israel berhak membela diri", tanpa pernah menggambarkan bahwa rakyat Palestina hidup di bawah blokade, bahwa mereka telah dirampas tanahnya selama puluhan tahun, dan bahwa ketimpangan kekuasaan antara penjajah dan yang dijajah itu sangat nyata. Di sin saya melihat bagaimana satu narasi yang dominan bisa mengaburkan kebenaran yang lebih luas.
Bahkan dalam isu dalam negeri seperti tenaga kerja Indonesia di luar negeri kita sering mendengar pernyataan bahwa ini adalah bagian dari "budaya merantau". Tapi buat saya ini adalah bentuk pengabaian. Orang-orang itu merantau bukan karena budaya, tapi karena keterpaksaan. Karena di tanah sendiri, mereka tidak punya cukup kesempatan untuk hidup layak. Dengan menyederhanakan itu menjadi "budaya", negara menutupi kegagalannya memenuhi hak dasar warganya.
Dan yang membuat ini semakin rumit adalah peran media dan algoritma. Media hari ini, terutama yang dimiliki oleh korporasi besar atau dikelola oleh kekuasaan politik, cenderung hanya menyuarakan hal-hal yang "aman", yang tidak mengganggu stabilitas kekuasaan atau kenyamanan para pemilik modal. Sementara itu, algoritma media sosial membuat kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat—bukan apa yang perlu kita tahu. Kita hidup dalam ruang gema (echo chamber), di mana pendapat yang berbeda dianggap aneh atau bahkan berbahaya. Akibatnya, kita makin sulit mendengar suara-suara minoritas, apalagi memahami mereka.
Buat saya ini sangat mengkhawatikan. Karena begitu kita kehilangan keberagaman pandangan kita juga perlahan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Demokrasi tanpa nalar hanya akan menjadi formalitas. Kita boleh memilih tapi tidak tahu apa yang kita pilih. Kita boleh bicara tapi hanya boleh dalam batas yang disetujui. Dan kalau kita mulai mempertanyakan narasi dominan, kita langsung dicap anti pemerintah, radikal, atau tidak nasionalis. Padahal, berpikir berbeda bukan kejahatan. Justru keberanian untuk berbeda itu yang membuat demokrasi sehat.
Saya percaya cara melawan narasi tunggal adalah dengan terus membuka ruang berpikir. Kita harus berani mempertanyakan, menggali, dan mendengar suara-suara yang selama ini dibungkam. Bukan untuk membenarkan mereka tapi untuk memahami kenyataan dengan lebih jujur. Kita juga perlu mendukung jurnalisme yang independen yang berani menyuarakan sisi-sisi gelap yang tidak nyaman. Dan yang paling penting, kita masing-masing harus berani bersuara bukan hanya ketika aman, tapi justru ketika sunyi.
Tan Malaka pernah berkata, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan dan memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Tapi jika pendidikan hanya mengajarkan kita untuk menerima satu kebenaran tanpa berpikir, maka itu bukan pendidikan melainkan pembodohan. Dan seperti kata Philip Kotler, “The best advertising is done by satisfied customers.” Dalam konteks demokrasi, masyarakat yang puas tidak perlu dijejali propaganda. Mereka akan membela sistemnya sendiri karena mereka tahu, mereka punya ruang untuk berpikir dan bersuara.
Narasi tunggal tidak selalu datang dengan kekerasan. Ia bisa hadir lewat kesunyian. Lewat pengulangan yang terus-menerus. Lewat ketidaksanggupan kita untuk berkata tunggu duly, apa memang cuma itu ceritanya?
Saya percaya demokrasi bukan tentang keseragaman tapi tentang keberanian untuk mendengarkan semua suara termasuk yang tidak nyaman, yang tidak populer, dan yang selama ini dibungkam. Karena tanpa itu, yang tersisa hanyalah dekorasi demokrasi, bukan jiwanya.

