Merancang Identitas Visual yang Otentik di Tengah Banyaknya Branding Instan
Di tengah banyaknya tren desain cepat dan template instan, saya ingin mengajak kamu berhenti sejenak dan bertanya apa masih ada ruang untuk identitas visual yang benar-benar jujur dan otentik? Dalam tulisan ini, saya berbagi pandangan pribadi tentang bagaimana sebuah brand bisa tetap punya karakter yang hidup, tidak sekadar terlihat cantik di layar. Sebuah refleksi ringan tapi dalam tentang proses, makna, dan kejujuran dalam membangun identitas visual di era serba cepat.
PHILOSOPHYBRANDMARKETINGBRAND IDENTITY
Chairifanyah
10/18/20253 min read
Sebelumnya saya mau minta maaf karena lebih dari satu bulan saya tidak sempat menulis karena padatnya jadwal harian, namun justru di tengah kesibukan itu saya sering terpikir satu hal yang semakin terasa relevan. Pernahkah kamu merasakan saat ini dunia visual terasa begitu banyak dan melelahkan. Setiap hari kita diserbu ratusan desain, logo, dan kampanye yang berlomba menarik perhatian. Semua terlihat indah dengan warna warni yang banyak, modern tapi entah kenapa, sedikit sekali yang benar-benar menyentuh. Banyak brand hanya tampil luarbiasa indah di luar tapi kosong di dalam. Semua terasa seragam seperti kehilangan jiwa.
Banyak orang ingin membangun brand dengan hasil instan. Logo jadi dalam semalam, tone of voice didownload dari template gratisan yang banyak tersedia dan tagline diambil dari contoh di Pinterest. Hasilnya? Branding yang terlihat keren tapi tidak punya makna. Padahal identitas visual seharusnya bukan topeng tapi cermin tempat nilai, emosi, dan karakter sebuah brand terlihat dan terdapat makna ke mata audiensnya.
Saya pribadi percaya bahwa keaslian atau originalitas adalah inti dari setiap identitas yang bertahan lama. Bukan hanya gaya tapi niat, tidak hanya muncul dari efek visual tapi dari kejujuran dan konsistensi. Ketika sebuah brand jujur maka semua elemen visualnya akan terasa hidup, bahkan tanpa perlu effort marketing luar biasa.
Kita bisa lihat contohnya pada Patagonia, brand outdoor untuk peralatan seperti hiking, climbing, dan camping asala Amerika. Brand ini tidak perlu logo yang mencolok atau kampanye yang heboh. Desain gunung di logonya sederhana namun lahir dari nilai lingkungan yang mereka perjuangkan. Mereka bukan sekadar menjual jaket tapi semangat menjaga bumi. Contoh lainnya yaitu Aesop, brand skincare dengan kemasan minimalis yang tidak berusaha tampil “cantik” di rak. Ia hanya jujur dengan kualitas dan pengalaman yang ingin diberikan. Itulah kekuatan visual yang otentik sederhana dan penuh makna.
Sebaliknya, branding instan cepat dibuat, mudah dikonsumsi, tapi tak memberi kesan apapun. Konsumen sekarang jauh lebih pintar, mereka bisa merasakan mana visual yang dibuat dengan kesungguhan dan mana yang cuma ikutan tren. Karena itu brand yang ingin bertahan lama perlu belajar memperlambat langkah. Tidak semua yang viral layak diikuti dan tidak semua yang sederhana berarti membosankan.
Saya belajar bahwa identitas visual yang kuat lahir dari beberapa hal mendasar. Pertama untuk selalu mulai dari tujuan bukan logo. Tanyakan dulu apa nilai yang ingin saya sampaikan serta apa janji yang saya buat kepada pelanggan saya? Kedua, jaga konsistensi. Brand yang otentik bukan yang berubah setiap kali tren datang tapi yang tahu ke mana arah evolusinya. Ketiga berani menyederhanakan. Lihat saja Muji brand “tanpa brand” yang justru dikenal karena kesederhanaannya dimana mereka tidak menjual estetika tapi kuat dalam filosofi hidup. Keempat, bangun hubungan dengan komunitas. Eiger tumbuh dari percakapan dengan komunitasnya visual mereka terbentuk dari umpan balik nyata, bukan hasil riset pasar yang kering. Dan terakhir, biarkan tindakan bicara lebih keras dari desain. Sejauh Mata Memandang adalah contoh nyata dari brand lokal yang mempraktikkan keberlanjutan bukan hanya mempromosikannya.
Kalau kamu sedang membangun brand, saya ingin mengajakmu mulai dari hal kecil. Coba buka kembali semua aset visualmu misalnya logo, warna, tonedan juga pesan. Coba lihat satu per satu dan tanyakan apakah semua ini benar-benar mewakili nilai yang saya yakini? Kalau tidak jangan buru-buru membuat ulang. Kadang keotentikan tidak muncul dari penambahan tapi dari pengurangan, coba hilangkan yang tidak perlu dan sisakan yang bermakna.
Saya tahu di dunia marketing sekarang semua berlomba menjadi berbeda. Buat saya justru itu ironis karena terlalu sibuk ingin berbeda banyak brand akhirnya jadi mirip. Menurut saya cara terbaik untuk menonjol bukan dengan menjadi yang paling unik teapi menjadi yang paling jujur. Desain yang otentik tidak butuh efek berlebihan karena ia berbicara dengan tenang tapi dalam. Ia tidak berteriak untuk didengar, tapi menenangkan mata dan hati orang yang melihatnya.
Jadi, kalau hari ini kamu sedang berpikir untuk memperbarui identitas visual brandmu baik untuk bisnis kecil, proyek pribadi atau bahkan perusahaan besar jangan cari inspirasi dari tren. Cari dari nilai yang kamu yakini serta dari cerita hidup yang kamu jalani. Dari cara kamu memperlakukan pelanggan dan timmu. Karena identitas yang lahir dari hati akan selalu lebih kuat daripada identitas yang lahir dari template.
Saya percaya bahwa identitas visual yang otentik bukan soal tampil indah tapi soal tampil jujur. Keindahan bisa dibuat tapi kejujuran hanya bisa dirasakan. Dan di tengah dunia yang semakin bising dan cepat ini, kejujuran visual justru jadi hal paling langka dan paling berharga.




