Menjejak Tanah, Menjaga Bumi
Tulisan ini berangkat dari lagu “Raih Tanahmu” karya Nosstress dan Rara Sekar yang menjadi pengingat tentang hubungan manusia dengan bumi. Melalui refleksi tentang kesadaran ekologis dan etika lingkungan, saya ingin mengajak kita untuk kembali menjejak tanah, menjaga bumi dengan kesadaran, dan memulihkan hubungan kita dengan kehidupan itu sendiri.
PHILOSOPHYHUMANITYENVIRONMENTAL ETHICSSOCIAL
Chairifansyah
11/5/20252 min read


Tau lagunya Nosstress dan Rara Sekar, berjudul Raih Tanahmu? Lagunya sederhana, tapi maknanya dalam. Mereka mengingatkan kita bahwa tanah sesuatu yang sering kita pijak sebenarnya adalah sumber kehidupan yang paling dasar. Dalam liriknya ada kalimat “raih tanahmu, genggam kembali” seolah menjadi seruan untuk kita semua sudah sejauh apa kita meninggalkan bumi yang menumbuhkan kita?
Saya sadar selama ini kita mungkin terlalu sibuk melihat ke atas mengejar ambisi, kemajuan dan keingina sampai lupa melihat ke bawah ke tanah yang menopang semua itu. Padahal dari sanalah hidup dimulai dan ke sanalah kita semua akan kembali.
Di satu sisi teknologi membuat hidup terasa lebih mudah tapi di sisi lain kita jadi semakin terpisah dari alam. Kita menyalakan pendingin ruangan tanpa berpikir tentang udara di luar sana yang makin panas. Kita meminum air kemasan tanpa sadar bahwa sungai tempat air itu berasal kian tercemar. Kita menikmati hasil bumi tapi lupa bahwa bumi juga perlu beristirahat, sungguh ironis kan?
Kesadaran ekologis bukan cuma mencintai lingkungan tetapi dapat memahami bahwa kita adalah bagian dari alam dan bukan penguasanya. Begitu kita melepaskan diri dari kesadaran itu maka segala sesuatu berubah menjadi komoditas, hutan yang menjadi angka di laporan bisnis, laut yang menjadi tempat buangan dan udara yang menjadi sisa produksi. Alam tidak lagi dilihat sebagai sistem kehidupan tapi sebagai “sumber daya” untuk dieksploitasi.
Padahal tanpa alam manusia bukan apa-apa. Kita bisa hidup tanpa internet tapi apa kita bisa hidup tanpa air? Kita bisa kehilangan handphone dan bertahan, tapi apa kita bisa bernapas tanpa pohon? Kesadaran sesederhana itu sering kali hilang di tengah modernitas.
Dalam filsafat ada satu cabang yang membahas environmental ethics atau etika lingkungan. ia ada dari sebuah pertanyaan sederhana dan mendasar apakah manusia punya tanggung jawab moral terhadap alam
Jawabannya tentu saja iya. Alam bukan hanya latar tempat kita hidup tetapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Pohon, sungai, tanah, udara semuanya punya nilai intrinsik bukan sekadar berguna karena bermanfaat bagi manusia,karena tanpa mereka kehidupan tidak bisa berlanjut.
Etika lingkungan membantah cara pandang antroposentris yaitu pandangan bahwa manusia adalah pusat segalanya. Ia mengingatkan bahwa kita tidak berada di atas alam tetapi di dalamnya. Setiap tindakan sekecil apa pun akan memberi dampak pada keseimbangan ekosistem. Jadi ketika kita bicara tentang “menjaga bumi,” sebenarnya kita sedang bicara tentang menjaga diri sendiri.
Mungkin yang paling kita saat ini adalah kesadaran lama yang sudah kita lupakan yaitu bahwa hidup itu sederhana dan keseimbangan adalah kuncinya. Menjaga bumi bukan tugas besar yang hanya bisa dilakukan oleh aktivis atau ilmuwan. Ia bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti menanam pohon, mengurangi sampah plastik, serta tidak membuang air seenaknya, atau hanya sekedar belajar menghargai keindahan alam tanpa harus merusaknya.
Kita perlu menjejak tanah lagi secara harfiah maupun maknawi. Kembali merasakan tekstur kehidupan yang nyata. Berjalan tanpa tergesa, mendengar suara angin, melihat daun jatuh tanpa merasa itu hal sepele. Karena di sanalah letak hubungan kita dengan kehidupan itu sendiri.
Bumi bukan hanya tempat tinggal tapi rumah yang hidup. Dan seperti rumah ia tidak akan bertahan lama jika kita birkan rusak tanpa perawatan. Jadi ketika saya mendengar lagu “Raih Tanahmu” saya tidak sekadar mendengar musik. Saya mendengar panggilan untuk berhenti sejenak, menunduk dan menyentuh tanah. Mengingat siapa kita sebenarnya.
Menjaga bumi bukan pilihan moral, Ini adalah kebutuhan eksistensial dan kesadaran ekologis bukan sekadar tren hijau teapi bentuk cinta paling nyata kepada kehidupan itu sendiri. Jadi mari kita raih tanah kita kembali bukan untuk memiliki tapi untuk menghargai. Untuk menjga bukan menaklukkan. Karena di saat kita benar-benar menjejak tanah dengan hati yang sadar mungkin di sanalah kita baru bisa disebut manusia seutuhnya.


