Memahami Logical Fallacies: Kesalahan Logika yang Harus Diwaspadai
Pernah merasa argumen seseorang terdengar kuat, tapi ada yang ganjil? Bisa jadi itu karena adanya logical fallacies, atau kesalahan logika yang kerap muncul tanpa kita sadari. Di tulisan ini saya mengajak kamu memahami berbagai bentuk kesalahan logika yang sering dipakai dalam diskusi sehari hari dari ad hominem sampai slippery slope dan kenapa penting bagi kita untuk mengenalinya agar tidak mudah tersesat dalam perdebatan.
PHILOSOPHYSOCIAL
Chairifansyah
11/8/20242 min read
Pernah nggak sih kamu sedang ikut diskusi baik itu di media sosial, nonton debat di TV, atau ngobrol santai dengan teman teman tiba tiba kamu merasa argumen yang disampaikan terdengar kuat, tapi ada sesuatu yang mengganjal? Nah, bisa jadi kamu sedang berhadapan dengan yang namanya logical fallacies, atau kesalahan logika. Ini hal yang cukup sering muncul dalam percakapan sehari-hari, tapi sayangnya nggak selalu kita sadari keberadaannya. Padahal memahami soal ini penting banget, karena bisa membantu kita berpikir lebih jernih dan nggak gampang terkecoh.
Logical fallacies sebenarnya adalah bentuk kesalahan dalam penalaran. Argumennya mungkin terdengar masuk akal di permukaan, tapi kalau dilihat lebih dalam, ada cacat logika yang bikin argumen itu jadi nggak valid. Dan celakanya, banyak orang yang menggunakan fallacies ini secara sadar atau tidak, entah untuk meyakinkan orang lain, membelokkan arah pembicaraan, atau bahkan untuk menyerang lawan bicara. Makanya, penting banget buat kita buat tahu ciri cirinya.


Salah satu bentuk fallacy yang paling sering muncul adalah ad hominem, di mana seseorang menyerang pribadi lawan bicaranya, bukan argumennya. Misalnya ketika seseorang bilang, “Ah, kamu kan masih muda, mana ngerti soal politik,” padahal usia nggak ada hubungannya dengan validitas pendapat seseorang. Ini bukan menyerang ide, tapi menyerang orangnya. Dan itu jelas ngelenceng dari logika yang sehat.
Lalu ada juga straw man, sebuah teknik di mana argumen lawan disederhanakan atau didistorsi agar lebih mudah diserang. Contohnya ketika ada yang bilang, “Kamu mau anggaran militer dikurangi? Jadi kamu pengin negara ini nggak punya perlindungan dong?” Padahal yang dibicarakan adalah pengurangan anggaran, bukan penghapusan total pertahanan. Argumen aslinya dibengkokkan jadi karikatur yang lebih gampang dipatahkan.
Yang nggak kalah berbahaya adalah appeal to ignorance, yaitu ketika seseorang menyatakan sesuatu sebagai benar hanya karena belum ada bukti yang membantahnya. Misalnya, “Alien pasti ada, karena belum ada bukti yang bilang mereka nggak ada.” Ini seperti mengatakan bahwa karena sesuatu belum terbukti salah, maka pasti benarpadahal logika nggak bekerja seperti itu.
Kita juga sering menjumpai false dichotomy, situasi ketika seolah olah hanya ada dua pilihan ekstrem, padahal kenyataannya lebih kompleks. Misalnya, “Kalau kamu nggak dukung kebijakan ini, berarti kamu nggak cinta negara.” Padahal bisa saja seseorang mencintai negaranya, tapi tetap kritis terhadap kebijakan tertentu.
Dan jangan lupakan slippery slope, jenis fallacy yang menyatakan bahwa satu langkah kecil akan otomatis memicu serangkaian kejadian besar yang buruk, tanpa bukti kuat. Misalnya nih “Kalau kita melegalkan ganja medis, nanti semua narkoba bisa jadi legal.” Padahal belum tentu. Ada banyak faktor, konteks, dan regulasi yang terlibat dalam kebijakan publik, dan nggak semuanya bersifat domino seperti itu.
Kenapa sih penting banget memahami semua ini? Karena dengan mengenali fallacies, kita bisa jadi lebih hati-hati dalam membangun argumen sendiri, sekaligus lebih tangguh saat menghadapi argumen orang lain. Kita belajar buat berpikir lebih jernih, lebih rasional, dan nggak gampang terbawa emosi. Di tengah era informasi yang begitu cepat, dan kadang penuh polarisasi, kemampuan ini adalah bekal penting supaya kita tetap bisa berdiskusi secara sehat dan bermakna.
Buat saya pribadi, memahami logical fallacies bukan cuma soal menang debat, tapi soal menjaga integritas berpikir. Karena ujung dari semua disksi seharusnya bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling mencari pemahaman yang lebih dekat pada kebenaran. Dan proses itu, seharusnya, dibangun di atas logika yang kuatbukan sekadar retorika yang menyesatkan.