Konsumsi Tanpa Henti: Ketika Tren Mengalahkan Kebutuhan

Saya sering lihat orang ganti barang cuma karena tren, padahal kebutuhannya sama saja. Akhirnya boros uang, buang-buang sumber daya, dan bikin limbah. Tahu tidak? limbah tekstil 92 juta ton per tahun hingga ribuan liter air dihabiskan hanya untuk membuat satu kaos. Kesadaran untuk merasa cukup dan memilih bijak adalah kunci agar kita tidak terus dikendalikan tren.

SOCIALECONOMY

Chairifansyah

8/9/20252 min read

one cowboy hat and five jackets hanged on clothes rack
one cowboy hat and five jackets hanged on clothes rack

Saya sering bertanya-tanya, kenapa ya kita begitu mudah tergoda untuk membeli barang baru. padahal barang lama kita masih berfungsi dengan baik? Rasanya ini bukan cuma soal kebutuhan tapi soal tren yang terus berganti. Setiap kali ada model ponsel baru dirilis atau fashion terbaru muncul di timeline tiba-tiba kita merasa barang yang kita punya sekarang sudah “kurang”. Padahal kalau dipikir-pikir kebutuhan kita sebenarnya sama saja.

Saya punya teman yang setiap tahun selalu ganti iPhone. Bukan karena iPhone lamanya rusak, baterainya bocor, atau kameranya jelek. Alasan utamanya sederhana, ada seri terbaru dan dia tidak mau terlihat “ketinggalan zaman” saat nongkrong. Anehnya setelah beli ponsel itu dipakai untuk hal yang sama seperti sebelumnya, chat, Instagram, TikTok dan foto-foto. Tidak ada perubahan besar selain sensasi punya barang baru. Dan ini bukan cerita satu orang. menurut data Statista rata-rata orang di dunia mengganti smartphone setiap 2–3 tahun padahal umur teknis smartphone bisa mencapai 5–6 tahun jika dirawat baik.

Hal yang sama juga saya lihat di dunia fashion. Saya punya kenalan yang lemari pakaiannya sudah penuh bahkan sampai harus menyewa space tambahan di rumah keluarganya. Tapi setiap ada tren baru entah warna pastel yang lagi hits atau model celana yang katanya wajib dimiliki dia pasti beli. Padahal baju yang dibelinya tahun lalu juga masih bagus dan layak dipakai. Data dari UNEP (United Nations Environment Programme) menyebutkan bahwa industri fashion menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun dan sebagian besar karena budaya fast fashion yang mendorong kita membeli pakaian baru meski yang lama belum rusak.

Kita sering lupa bahwa kebutuhan dasar kita sebenarnya tidak banyak berubah. Kita tetap makan untuk kenyang, berpakaian untuk melindungi tubuh, dan menggunakan ponsel untuk berkomunikas. Tapi industri sangat pintar membungkus kebutuhan ini dengan kemasan yang terlihat baru dan lebih “wah” sehingga kita merasa perlu memilikinya. Padahal sering kali itu cuma keinginan yang dibungkus dengan alasan yang terdengar logis.

Saya tidak mengatakan bahwa mengikuti tren itu salah. Tren kadang memberi warna baru dalam hidup, membuat kita terinspirasi bahkan memberi rasa senang. Tapi ada batasnya. Kalau setiap keputusan belanja kita didorong oleh rasa takut ketinggalan bukannya kebutuhan yang nyata, kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang melelahkan. Kita mengeluarkan uang untuk sensasi sesaat lalu kembali merasa “kurang” tak lama kemudian.

Selain menguras dompet, perilaku konsumtif juga berdampak besar pada lingkungan. Produksi smartphone, misalnya membutuhkan sumber daya alam yang langka seperti litium dan kobalt, yang proses penambangannya sering kali merusak ekosistem dan memicu konflik sosial di daerah tambang. Sementara itu, produksi pakaian fast fashion mengonsumsi air dalam jumlah besar, tahu tidak? satu kaos katun saja bisa membutuhkan sekitar 2.700 liter air untuk dibuat, setara dengan kebutuhan minum seseorang selama 2,5 tahun.

Kadang, keputusan paling bijak adalah menahan diri dan tetap menggunakan apa yang sudah kita punya. Tidak perlu malu kalau ponsel kita keluaran tiga tahun lalu atau baju kita model lama. Sebab pada akhirnya, orang lain sibuk dengan hidupnya masing-masing dan jarang benar-benar memperhatikan apakah kita pakai barang terbaru atau tidak. Yang lebih penting adalah rasa cukup perasaan bahwa apa yang kita punya sekarang sudah lebih dari cukup untuk membuat kita nyaman dan bahagia.

Tren akan selalu datang dan perg. Tapi kesadaran untuk memilih dan mengendalikan diri adalah hal yang akan bertahan. Kalau kita bisa menempatkan tren di posisi yang tepat bukan sebagai tuntutan tapi sebagai pilihan hidup kita akan terasa lebih ringan. Dan mungkin kita akan lebih menghargai barang yang sudah ada, bukan terus-menerus mengejar yang baru.