Ketika NU Kehilangan Arah: Antara Islam Murni dan Kepentingan Dunia

Tulisan ini mengkritisi arah gerak Nahdlatul Ulama (NU) yang dinilai semakin menjauh dari kemurnian ajaran Islam sebagaimana dicita-citakan oleh para pendirinya. Disertai kutipan KH. Hasyim Asy’ari dan Presiden Soekarno, artikel ini mengulas bagaimana pemurnian Islam justru sering dicurigai, sementara praktik-praktik yang menyimpang dari tauhid terus dilanggengkan atas nama tradisi.

SOCIALAL QURAN AND AS SUNAH

Chairifansyah

6/21/20252 min read

green and white starbucks plastic bag
green and white starbucks plastic bag

NU di masa kini, dan saya katakan ini dengan berat hati telah dipenuhi dengan pelbagai praktik-praktik yang jauh dari tuntunan Rasulullah. Banyak di antara jamaah dan tokoh-tokohnya justru melestarikan praktik seperti ziarah kubur berlebihan, hingga pengkultusan tokoh agama yang melampaui batas. Padahal, pendiri NU sendiri, KH. Hasyim Asy’ari, telah dengan tegas mengatakan dalam risalahnya:

“Hendaklah kamu menjauhi perkara-perkara baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. Hasyim Asy’ari)

Sayangnya, seruan pendiri NU sendiri kini kerap diabaikan. Tradisi lebih diutamakan daripada tauhid. Fanatisme terhadap budaya lokal kerap mengalahkan loyalitas kepada ajaran Islam yang otentik.

Lebih ironis lagi, mereka yang menyerukan kembali kepada Islam yang murni malah dicap sebagai "Wahabi", seolah itu kutukan atau aib. Padahal, Bung Karno, yang menjadi simbol nasionalisme Indonesia, pernah menyatakan kekagumannya terhadap gerakan Wahabi dalam Di Bawah Bendera Revolusi:

“Cobalah pembaca renungkan sebentar ‘padang‑pasir’ dan ‘wahabisme’ itu. Kita mengetahui jasa Wahabisme yang terbesar: ia punya kemurnian, ia punya keaslian, murni dan asli sebagai udara padang‑pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi… Lemparkanlah jauh‑jauh tahayul dan bid’ah itu… segala yang membawa kemusyrikan!” (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid 1, hal. 390)

Bung Karno sendiri memahami bahwa Wahabi bukanlah ajaran yang mengerikan, melainkan seruan kembali kepada Islam yang murni, bersih dari bid’ah dan syirik.

Lebih jauh lagi, NU hari ini juga menghadapi tantangan serius dari dalam: masuknya paham liberal yang justru didorong oleh sebagian tokoh internal mereka sendiri. Salah satu yang paling mencolok adalah Ulil Abshar Abdalla, yang pernah terang-terangan menyuarakan gagasan “revisi Al-Qur’an” dan menyebut Islam harus ditafsir ulang sesuai konteks modern. Bukannya membentengi akidah umat, narasi semacam ini justru mengikis pondasi keimanan secara perlahan. Di mana suara ulama NU ketika ajaran semacam ini berkembang bebas di tubuh organisasi mereka sendiri?

Saya menulis ini bukan dari luar, melainkan dari dalam. Saya lahir dan besar di lingkungan keluarga Nahdliyin NU mengalir kuat. Sejak kecil saya diajarkan untuk menghormati para kiai, ikut tahlilan, maulidan, dan ziarah kubur. Bagi kami, semua itu adalah bagian dari ibadah dan cinta kepada tradisi.

Tapi seiring waktu, saya mulai bertanya. Apakah semua yang kami lakukan benar-benar ada tuntunannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah? Ataukah ini hanya warisan budaya yang sudah terlalu lama dianggap suci? Rasa penasaran itu membawa saya (dan beberapa anggota keluarga saya) ke dalam kajian kajian yang oleh sebagian orang NU disebut sebagai “Wahabi”.

Ternyata, yang saya temukan bukan ajaran mengerikan, bukan ekstremisme, bukan anti-NKRI, tapi justru ajakan untuk kembali kepada tauhid, kepada ajaran Islam yang murni, sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka menyerukan agar kita meninggalkan takhayul, bid’ah, dan kemusyrikan. Mereka mengajak untuk tidak bergantung pada amalan yang tidak ada dalilnya.

Jadi, pertanyaannya: kenapa hari ini NU justru sibuk mempertahankan praktik-praktik yang oleh pendirinya sendiri diingatkan untuk ditinggalkan? Kenapa kritik terhadap tradisi dianggap sebagai serangan terhadap NU, padahal justru itu bentuk cinta cinta agar NU kembali pada kemurnian Islam?

Saya tidak mengajak siapa pun membenci NU. Tapi saya ingin NU sadar. Sadar bahwa banyak ulamanya kini tidak lagi menjadi pewaris Nabi, melainkan justru pelayan kekuasaan dan budaya lokal yang tak jarang bertentangan dengan Islam. Sudah waktunya NU kembali ke akar, membersihkan rumahnya sendiri dari bid’ah, khurafat, dan politik praktis.

Saya melihat dengan sangat jelas, NU hari ini sedang berada di persimpangan jalan. Organisasi yang dulunya menjadi tumpuan umat untuk mencari ilmu dan pencerahan, kini perlahan mulai ditinggalkan oleh sebagian jamaahnya. Banyak yang mulai beralih ke kajian-kajian yang mereka sebut “Wahabi”. Bukan karena mereka ingin menjadi Arab, tapi karena mereka haus akan ajaran Islam yang murni yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa dikotori budaya sinkretik, kepentingan politik, dan pemujaan terhadap tokoh berlebihan.