Ekonomi Jalan Tengah Prabowo: Antara Harapan dan Keraguan

Saya mencoba mengajak kalian menimbang arah baru ekonomi Indonesia di bawah Prabowo, yang menolak kapitalisme dan sosialisme ekstrem dan memilih “jalan tengah”. Dengan merujuk teori ekonomi klasik dan realitas Indonesia, penulis mengupas potensi serta risiko pendekatan ini, sekaligus mengkritisi tantangan birokrasi dan implementasi. Artikel ini mengajak kita berpikir lebih dalam: apakah kebijakan benar-benar membawa kesejahteraan rakyat, atau hanya sebatas slogan politik.

SOCIALPOLITICSECONOMY

Chairifansyah

6/28/20252 min read

a couple of women sitting on the ground next to bags of food
a couple of women sitting on the ground next to bags of food

Saya sudah lama memperhatikan arah kebijakan ekonomi Indonesia terkadang optimis, seringkali skeptis. Dan kini, ketika Presiden Prabowo menawarkan pendekatan “jalan tengah” yang menolak kapitalisme dan sosialisme ekstrem, saya merasa perlu menuliskan pandangan pribadi saya. Bukan sekadar ikut arus, tapi untuk menyusun ulang cara berpikir saya tentang masa depan ekonomi kita.

Selama ini, sistem kapitalisme telah menjadi model ekonomi di Indonesia, khususnya sejak era liberalisasi pasar di awal 2000-an. Kapitalisme, sebagaimana dijelaskan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations, berlandaskan pada mekanisme pasar bebas, kepemilikan pribadi atas alat produksi, dan motivasi keuntungan. Dalam praktiknya, kapitalisme mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan efisiensi. Tapi di sisi lain, seperti yang dikritik Karl Marx dalam Das Kapital, kapitalisme juga menghasilkan ketimpangan struktural, memperkuat konsentrasi kekayaan, dan sering kali mengorbankan kelas pekerja demi akumulasi modal.

Sosialisme muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan kapitalisme. Dalam sosialisme, alat produksi dimiliki oleh negara, dan distribusi kekayaan diatur untuk menjamin keadilan sosial. Namun dalam bentuk ekstremnya, sosialisme bisa mematikan insentif dan menciptakan birokrasi yang lamban. Seperti kata Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom, upaya untuk mengontrol ekonomi secara total cenderung berujung pada hilangnya kebebasan individu.

Indonesia selama ini berdiri di antara dua mazhab ekonomi itu. Konstitusi kita, khususnya Pasal 33 UUD 1945, menegaskan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ini bukan kapitalisme murni, tapi juga bukan sosialisme total. Dan di titik inilah saya memahami logika ekonomi Prabowo: memilih “jalan tengah”.

Dalam beberapa pidatonya, Prabowo menolak dominasi pasar bebas yang menurutnya, selama 30 tahun terakhir tidak berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat secara merata. Tapi ia juga tidak ingin jatuh ke dalam sosialisme yang mematikan semangat individu. Solusi yang ditawarkannya adalah ekonomi berkeadilan sosial di mana negara tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga pelindung dan fasilitator bagi rakyat, terutama yang kecil.

Secara teori, pendekatan ini bisa digolongkan sebagai bentuk mixed economy atau ekonomi campuran. Ini adalah sistem di mana pasar dan negara sama-sama memiliki peran penting. Negara aktif mengintervensi ketika pasar gagal (market failure), tapi tetap memberi ruang bagi sektor swasta untuk tumbuh. Pendekatan ini juga selaras dengan gagasan economy of well-being yang berkembang di Eropa, di mana keberhasilan ekonomi tidak diukur dari PDB semata, tapi dari kualitas hidup, pendidikan, kesehatan, dan pemerataan.

Saya pribadi melihat potensi besar dari model ini, khususnya untuk negara seperti Indonesia yang memiliki ketimpangan tinggi dan tantangan pembangunan yang belum selesai. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata terhadap risiko yang mengintai. Dalam sistem ekonomi yang memberi peran besar pada negara, selalu ada bahaya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kebijakan populis yang tidak produktif. Jika negara tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel, intervensi pasar bisa berubah menjadi proteksionisme kroni yang justru memperburuk keadaan.

Selain itu, ekonomi jalan tengah membutuhkan birokrasi yang profesional, data yang akurat, dan kebijakan yang berkelanjutan. Jika tidak, ia akan mudah jatuh menjadi slogan politik belaka dengan subsidi yang tak tepat sasaran, proyek besar yang tidak efisien, dan utang negara yang membengkak.

Bagi saya intinya adalah apakah negara benar-benar hadir untuk rakyat kecil? Apakah kebijakan dirancang berdasarkan kajian ilmiah dan kebutuhan nyata, atau hanya untuk pencitraan sesaat? Apakah UMKM dilindungi tanpa mematikan daya saing? Apakah pertanian dan energi dikelola untuk swasembada, bukan sekadar demi proyek jangka pendek?

Jadi, saya melihat gagasan ekonomi Prabowo bukan sebagai sesuatu yang otomatis buruk atau baik. Tapi justru membuka ruang penting untuk evaluasi ulang terhadap arah ekonomi kita. Dan saya yakin, sebagai warga negara, tugas kita adalah terus mengawal gagasan ini agar tidak melenceng. Karena pada akhirnya, jalan mana pun yang kita pilih kapitalis, sosialis, atau tengah-tengah harus diuji dengan satu pertanyaan utama: apakah ia benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia?