Di Antara Beat dan Hening, Kenapa Saya Memilih Trance

Dalam tulisan ini saya ngobrol tentang kenapa musik trance selalu punya ruang khusus di hidup saya bukan cuma sebagai dentuman festival, tapi sebagai tempat pulang yang tenang di tengah hari-hari yang penuh tekanan. Trance bukan sekadar genre, ia jadi perjalanan pelan yang mengantar saya kembali ke diri sendiri.

MUSICTRANCE

Chairifansyah

12/4/20252 min read

a close up of a dj controller in a room
a close up of a dj controller in a room

Sebelumnya saya mau bilang dulu tulisan ini saya buat bukan karena saya tiba-tiba jadi musik enthusiast yang serius banget hahaha, tapi karena sudah lama saya ingin bahas soal satu hal yang selalu bikin kepala saya tenang yaitu musik trance. Ada yang pernah tau? atau ada yang penyuka genre musik ini? Ada sesuatu dari genre ini yang nggak pernah gagal membawa saya keluar sebentar dari keruwetan hidup dan saya rasa kalau kamu pernah dengar kamu pun mungkin merasakan hal yang sama.

Trance buat saya bukan cuma tentang festival besar dan bukan cuma soal strobing lights atau DJ yang berdiri di panggung raksasa, trance itu lebih mirip sebuah perjalanan pelan yang mengantar kita ke tempat yang kadang bahkan tidak bisa kita jelasin. Beatnya yang kenceng, melingkar, membentuk ruang yang lega, seperti nafas panjang setelah hari yang semrawut. Di momen ketika build up mulai terasa kaya ada semacam bisikan yang membuat saya merasa hidup bukan secara dramatis tapi dengan cara yang dewasa dan tenang.

Saya selalu suka bagaimana trance membiarkan emosi berkembang secara perlahan dan tanpa paksaan. Itulah kenapa nama-nama sebut saja, Cosmic Gate, Above & Beyond, Armin van Buuren, Aly & Fila, Solarstone terasa seperti teman lama yang selalu menepuk bahu dengan hangat. Mereka tidak terburu buru, mereka sabar membawa kita ke state of mind yang lebih jernih. Dan di tengah hidup yang makin cepat, saya merasa kehadiran musik yang “sabar” itu justru jadi semacam penawar. Banyak orang bilang trance itu repetitif, justru di repetisi itulah kita menemukan ruang untuk memaknai ulang diri sendiri. Repetisi yang pelan-pelan membuka pintu perasaan yang mungkin sudah lama kita simpan rapat.

Kadang ketika saya sedang sendirian entah di mobil, di kamar atau bahkan sambil ngerjain kerjaan lagu trance yang tepat bisa bikin saya ngerasa seolah dunia berhenti sebentar dan memberi waktu untuk bernapas lebih dalam untuk mikir jernih atau sekadar untuk mengakui bahwa kita capek. Dan entah kenapa dentuman trance justru mengubah capek itu jadi sesuatu yang lebih manusiawi. Trance juga punya sisi komunitas yang khas dari dulu ia tumbuh dari dancefloor kecil dari orang-orang yang menemukan semacam persaudaraan tanpa perlu saling kenal. Nggak heran kalau konser Above & Beyond atau Armin selalu terasa hangat meski ramai karena semua orang datang membawa cerita masing-masing lalu melepaskannya di udara lewat musik yang sama.

Di era sekarang ketika musik sering dikejar popularitas instan dan algoritma, trance tetap keras kepala dengan identitasnya yaitu membangun emosi dulu, baru menghantam. Mungkin itu alasan kenapa saya tidak pernah berhenti menyukainya. Karena trance bukan cuma genre tapi cara untuk kembali ke diri sendiri seperti perjalanan pulang yang selalu kita temukan meski jalan berubah-ubah. Kalau kamu belum pernah masuk terlalu jauh ke dunia ini, mungkin ini saatnya kamu coba. Bukan untuk ikut-ikutan tapi untuk merasakan bagaimana musik yang jujur bisa membawa kamu ke tempat yang tidak terduga dan mungkin membuat kamu sedikit lebih utuh.

Saya kasih kalian playlist trance saya di Spotify dengerin deh, semoga suka!