Civilian Value dan Ancaman Demagog: Mengapa Demokrasi Butuh Fondasi yang Kokoh
Kali ini saya ingin membahas pentingnya civilian value sebagai fondasi demokrasi, bagaimana melemahnya nilai sipil membuka jalan bagi otoritarianisme dan demagog, serta mengapa pendidikan dan kesadaran publik menjadi sangat penting agar demokrasi tetap hidup di Indonesia.
POLITICSPHILOSOPHYHUMANITYSOCIAL
Chairifansyah
9/20/20252 min read
Jika berbicara tentang demokrasi di Indonesia, sering kali yang terbayang adalah pemilu lima tahunan. Pilih calon, coblos, selesai. Padahal ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar pemilu, yaitu civilian value atau nilai sipil. Nilai ini bukan tentang sipil melawan militer, atau rakyat melawan elit, bukan! tapi tentang akal sehat, konstitusi, hukum, transparansi, akuntabilitas, dan norma demokrasi yang seharusnya menjadi arah dari setiap tindakan pemerintah. Mulai dari presiden hingga RT, semua mestinya tunduk pada nilai ini.
Coba lihat lagi bagaimana wacana presiden tiga periode sempat dilempar ke publik, padahal jelas-jelas konstitusi membatasi dua periode. Kalau akal sehat dipakai, wacana itu mestinya tidak perlu ada. Tetapi karena civilian value kita rapuh, elit masih bisa main-main dengan aturan dasar negara. Contoh lainnya yaitu politik feodal di mana keputusan penting lebih sering diambil oleh orang orang yang dekat dengan pemimpin, dan tidak melalui mekanisme demokrasi yang transparan. Akibatnya apa? rakyat hanya jadi penonton semenentara kebijakan berjalan hanya untuk kepentingan kelompok kecil. Dari sini kita bisa melihat betapa rapuhnya demokrasi ketika nilai sipil dilemahkan dan menjadikannya otoritarianisme atau bahkan demagogi yang semakin terbuka lebar.
Istilah demagog bukan hal yang baru mereka adalah sosok yang pandai beretorika, pandai memainkan simbol dan emosi, tapi tidak memiliki substansi. Tanpa warga yang kritis dan akal yang sehat, tanpa pejabat yang terikat oleh nilai sipil, demagog bisa dengan mudah meraih pengaruh. Demokrasi pun tinggal formalitas, hanya sebatas pembicaraan di ruang sempit yang kosong di dalam praktik.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana caranya membangun civilian value yang kuat? Menurut saya, jawabannya ada pada pendidikan. Bayangkan kalau sejak sekolah kita dibiasakan berpikir kritis, diajarkan bahwa hukum bukan sekadar teks, bahwa konstitusi adalah batasan bersama, dan bahwa kritik bukanlah musuh melainkan akal sehat, tentunya generasi baru akan tumbuh dengan mental yang menolak tunduk pada kekuasaan absolut. Biasanya mereka akan punya naluri alami untuk membedakan pemimpin yang visioner dengan yang hanya sekedar jago retorika. Pendidikan semacam ini sangat perlu di sekolah, forum-forum publik, media, organisasi masyarakat, hingga pelatihan etika bagi pejabat pemerintahan di semua level.
Nilai sipil juga melatih kita untuk percaya pada prosedur. Konstitusi, check and balance, aturan main, semua itu bukan formalitas kosong, melainkan sebuah batasan agar tidak ada satu orang pun yang merasa dirinya di atas hukum. Kalau nilai ini kuat, maka elit politik tidak akan berani mengubah konstitusi semaunya. Pejabat di tingkat bawah pun akan merasa dirinya terikat oleh norma yang sama. Dan kita sebagai rakyat punya pegangan jelas untuk menilai apakah pemimpinnya masih berjalan di jalur demokrasi atau sudah tergelincir ke feodalisme.
Saya ambi referensi dari sejumlah penelitian internasional yang menunjukkan betapa pentingnya nilai sipil ini. pertama ada sebuah studi yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences (2023) misalnya, menemukan bahwa warga di Brasil, Prancis, dan Amerika Serikat menilai demokrasi jauh lebih penting daripada sekedar keuntungan materi seperti pendapatan atau layanan sosial. Artinya, masyarakat memiliki keterikatan emosional dan moral pada demokrasi, sejauh nilai sipil tetap dijaga. Sementara itu, Amartya Sen dalam esainya Democracy as a Universal Value (1999) mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya sistem politik, melainkan nilai universal yang mencakup kebebasan, ppartisipasi, dan akuntabilitas. Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi hanya bisa bertahan bila nilai sipil hidup dalam keseharian.
kalau kita benar ingin mencegah otoritarianisme atau demagogi, jawabannya bukan sekadar memilih pemimpin yang tepat lima tahun sekali. Jawabannya adalah bagaimana kita menanamkan civilian value di ruang kelas, di ruang publik, di media, bahkan di ruang rapat kabinet. Dari elit hingga pejabat paling bawah, dari pemerintah pusat sampai aparat desa, dan semuanya harus merasa dirinya berada dalam kerangka aturan, transparansi, serta akuntabilitas. Kalau fondasi ini kuat, demokrasi kita akan hidup dan benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.