Berpikir Kritis: Senjata Paling Penting di Era Kebisingan Informasi

Di tengah banjir informasi yang makin bising, kemampuan berpikir kritis menjadi hal yang tak bisa ditawar. Dalam tulisan ini, saya berbagi pandangan pribadi tentang pentingnya mempertanyakan informasi, memberi jeda sebelum bereaksi, dan berani keluar dari gelembung opini. Disisipkan juga kutipan Tan Malaka yang mengingatkan kita bahwa berpikir merdeka adalah jalan menuju kebenaran yang sejati.

PHILOSOPHYSOCIAL

Chairifansyah

7/6/20252 min read

a white box with black text on a wooden surface
a white box with black text on a wooden surface

Dalam hidup saya, mungkin tidak ada kemampuan yang terasa semakin penting dari tahun ke tahun selain berpikir kritis. Di tengah banjir informasi yang begitu banyak, hampir setiap hari saya merasa perlu menyaring, mempertanyakan, bahkan meragukan apa yang saya lihat, baca, dan dengar. Bukan karena saya sinis. Tapi karena saya sadar, tidak semua yang tampak benar itu benar dan tidak semua yang terdengar meyakinkan itu bisa dipercaya.

Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa bicara. Siapa saja bisa memberi opini, menyebar berita, mengklaim fakta. Media sosial memberi ruang tanpa batas untuk segala bentuk suara, tapi juga membawa kebisingan yang luar biasa. Kadang, informasi yang benar tenggelam karena dikalahkan oleh yang paling ramai, paling sensasional, atau paling menguntungkan secara algoritma.

Dalam keadaan seperti itu saya merasa berpikir kritis bukan lagi keterampilan tambahan, tapi sebuah kebutuhan dasar. Tanpa itu, kita mudah sekali terombang-ambing. Bisa saja hari ini kita percaya satu hal, lalu besok berubah total hanya karena melihat video berdurasi satu menit yang dibuat dengan narasi yang menggugah tapi tak berdasar.

Berpikir kritis, bagi saya, bukan soal menjadi orang yang selalu membantah. Tapi tentang membiasakan diri untuk bertanya: "Apa dasarnya?", "Siapa yang bicara?", "Apa kepentingannya?", "Apakah ini fakta atau hanya opini?", dan "Kalau ini tidak benar, siapa yang dirugikan?" Saya mencba tidak langsung percaya, sekaligus tidak langsung menolak. Saya belajar memberi jeda sebelum bereaksi. Dan dari situ saya belajar untuk berpikir lebih jernih.

Saya sadar, berpikir kritis tidak muncul begitu saja. Ia harus dilatih. Saya terbiasa membaca dari berbagai sumber, tidak hanya satu sisi. Saya mencoba keluar dari gelembung algoritma yang hanya menyajikan hal-hal yang saya suka. Bahkan sesekali saya sengaja membaca pandangan yang berlawanan, bukan untuk setuju, tapi untuk menguji keyakinan saya sendiri.

Buat saya, kemampuan ini sangat membantu bukan hanya dalam hal politik atau berita, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari: saat memilih produk, saat mendengar saran dari orang lain, bahkan saat mengambil keputusan penting dalam pekerjaan dan keluarga. Ketika kita bisa berpikir kritis, kita jadi tidak mudah dikendalikan oleh opini orang, tidak gampang termakan hoaks, dan tidak cepat terprovokasi oleh narasi yang belum tentu benar.

Berpikir kritis juga mengajarkan saya untuk lebih rendah hati. Karena saya tahu bahwa kadang saya pun bisa salah. Dan itu tidak masalah, selama saya punya niat ntuk terus belajar dan memperbaiki diri. Menurut saya, itulah esensi dari berpikir kritis yang sebenarnya, bukan sekadar mempertanyakan orang lain, tapi juga berani mengoreksi diri sendiri.

Di era yang penuh dengan kebisingan informasi, saya rasa orang yang bisa berpikir jernih dan kritis justru akan jadi lebih tenang. Ia tidak panik saat melihat berita heboh. Ia tidak terburu-buru menyebarkan kabar yang belum jelas. Ia tahu kapan harus bersuara, dan kapan lebih baik diam. Dan di zaman seperti sekarang, itu adalah kekuatan yang luar biasa.