Bagaimana AI Mengubah Dunia Marketing

Kali ini saya ingin membahas bagaimana AI mengubah strategi marketing saat ini. Saya berbagi pandangan tentang peluang seperti efisiensi, personalisasi, dan analisis data, sekaligus risiko yang muncul seperti privasi, ketergantungan berlebihan, dan banjir konten. Dengan mencontohkan praktik dari Spotify dan Netflix, saya menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kecerdasan AI dan sentuhan manusia agar brand tetap autentik dan relevan.

SOCIALAIMARKETING

Chairifansyah

8/24/20253 min read

AI sudah bukan lagi istilah keren dalam dunia teknologi, melainkan bagian yang nyata dari pekerjaan saya sehari-hari. Saat menyiapkan kampanye marketing, AI banyak membantu say, mulai dari riset, pembuatan draft konten, sampai analisis data konsumen dalam jumlah besar. Ditahun 2025 ini saya melihat sendiri bahwa marketing dan AI sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan menggunakan AI, melainkan bagaimana kita menggunakannya dengan bijak?

Bagi saya keuntungan terbesarnya adalah efisiensi. Pekerjaan yang dulunya memakan waktu berjam-jam kini hanya dalam hitungan menit. Dengan begitu, saya bisa mengalihkan waktu dan fokus pada strategi kreatif ketimbang di pekerjaan teknis. AI juga dapat melakukan personalisasi yang jauh lebih relevan. Konsumen tidak lagi menerima pesan generik, tetapi mereka berinteraksi dengn iklan, email, atau rekomendasi produk yang benar-benar sesuai dengan kebiasaan ataupun kebutuhan mereka. Studi menunjukkan bahwa personalisasi yang tepat bisa meningkatkan pendapatan hingga 15 persen dan efisiensi belanja pemasaran sebesar 30 persen, angka yang sangat berarti dalam pasar yang kompetitif. [1][2][3]

Namun, di balik itu semua ada risiko yang selalu saya waspadai. Brand yang selaly tergantung pada AI berisiko kehilangan sentuhan manusia, justru sentuhan manusia membuat komunikasi terasa autentik. Saat ini konsumen juga makin cerdas, mereka tahu mana pesan yang tulus buatan manusia dan mana yang hanya sekadar keluaran mesin. Masalah etika dan privasi juga oenting. AI bekerja dengan data dimana semakin besar skala penggunaannya maka semakin tinggi pula tanggung jawab untuk memastikan keamanan serta kepatuhan terhadap aturan. Regulasi global seperti GDPR di Eropa dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia kini menuntut pengelolaan data yang lebih ketat. Sejak Oktober 2024, aturan di Indonesia mulai dijalankan, artinya setiap eksperimen AI yang dijalankan harus ada izin, transparansi, dan tata kelola yang jelas. [4][5][6][7]

Selain itu, saya juga melihat adanya masalah kualitas konten. Di satu sisi, AI memudahkan siapapun untuk memproduksi tulisan, desain atau materi promosi dalam jumlah besar, tapi justru karena terlalu mudah, banjir konten terjadi di mana-mana membuat diferensiasi menjadi semakin sulit dibedakan. Inilah alasan mengapa saya selalu menjaga keseimbangan dan membiarkan AI membantu mempercepat proses tapi tetap memastikan ada sentuhan manusia dalam narasi, tone dan empati yang hanya bisa lahir dari pengalaman.

Saya mau memberikan contoh sukses dari sebuah brand global yaitu, Spotify. Lewat fitur “Wrapped”nya Spotify berhasil mengubah data mendengar musik pengguna menjadi kisah personal yang menarik dan mudah dibagikan. Hasilnya, kampanye ini selalu menjadi momen viral setiap tahun dan membuktikan bahwa data jika digunakan dengan narasi yang tepat bisa menjad cerita yang menarik. Begitu juga dengan Netflix, bagaimana rekomendasi berbasis data seperti waktu menonton, perangkat yang digunakan, atau bahasa, bisa meningkatkan keterikatan pengguna. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa AI paling efektif ketika dipadukan dengan pemahaman mendalam tentang perilaku manusia [8][9][10][11][12][13].

Bagi saya pribadi, saat menggunakan AI adalah menjadikannya co-pilot dan bukan autopilot. Saya membiarkan AI mempercepat proses dan memberi insight, tapi arah strategi, nilai brand, serta hubungan dengan audiens tetap saya yang tentukan. Literasi AI juga menjadi kebutuhan mutlak. Saya juga harus mengerti bagaimana teknologi ini bekerja apa keterbatasannya serta bagaimana cara mengintegrasikannya secara etis ke dalam strategi.

Saya yakin pemenang dalam dunia marketing bukanlah mereka yang punya teknologi AI paling canggih, melainkan mereka yang bisa menjaga keseimbangan antara mesin dan manusia. AI memang membuat kita ke level baru dalam marketing, tapi tanpa empati dan kreativitas, semua itu hanya akan jadi output kosong yang mudah dilupakan. Bagi saya masa depan marketing adalah tentang bagaimana kita mampu membuat teknologi bekerja untuk memperkuat hubungan dengan konsumen, bukan menggantikannya.

Note: tulisan saya ini juga dibantu oleh AI, saya memintanya untuk mencari referensi, data dan regulasi mengenai AI.

[1] McKinsey—What is personalization? (ringkasan dampak: pendapatan +5–15%, efisiensi belanja +10–30%). McKinsey & Company
[2] McKinsey—The value of getting personalization right (or wrong).
McKinsey & Company
[3] McKinsey—Marketing’s holy grail: digital personalization at scale.
McKinsey & Company
[4] EU—GDPR principles & lawful processing (panduan bisnis).
European Uniongdpr-info.euGDPR.eu
[5] Teks GDPR (referensi hukum).
gdpr-info.eu
[6] UU PDP Indonesia No.27/2022 & masa transisi s.d. 17 Okt 2024.
dlapiperdataprotection.com
[7] Ikhtisar & perkembangan 2025 (Indonesia).
iclg.compracticeguides.chambers.com
[8] Spotify Newsroom—The art and science behind Spotify Wrapped (2024).
Spotify
[9] Spotify Support—apa itu Wrapped (penjelasan resmi).
Spotify
[10] TIME/AP/The Verge—dampak Wrapped & fitur baru 2024 (konteks popularitas & AI recap).
TIMEAP NewsThe Verge
[11] Netflix Help—bagaimana rekomendasi bekerja (sinyal yang dipakai).
Pusat Bantuan Netflix
[12] Netflix Tech Blog—Foundation model for personalized recommendation (2025).
netflixtechblog.com
[13] Netflix Research—laman area riset rekomendasi (gambaran pendekatan ilmiah).
research.netflix.com