Apakah Indonesia Sedang Mengarah ke Fasisme?
Isu tentang demokrasi dan otoritarianisme kembali mengemuka di tengah perkembangan politik Indonesia belakangan ini. Banyak pihak mulai bertanya tanya, apakah Indonesia saat ini sedang mengarah ke fasisme? Apakah kita masih hidup dalam negara demokratis, ataukah secara perlahan sistem ini sedang dikooptasi oleh kekuatan yang lebih otoriter?
POLITICSSOCIAL
Chairifansyah
6/4/20253 min read


Akhir-akhir ini, jujur saja, saya makin sering bertanya dalam hati apakah kita ini masih hidup di negara demokratis? Atau jangan-jangan kita sedang digiring perlahan menuju sesuatu yang jauh lebih berbahaya, yaitu fasisme? Mungkin terdengar berlebihan, saya sadar itu. Tapi kata ini bukan cuma muncul di kepala saya sendiri. Bivitri Susanti yang juga seorang pakar hukum tata negara menyebutnya dalam sebuah podcast Bocor Alus Tempo. Dan sejak saat itu, saya jadi makin gelisah dan mulai melihat ke sekitar dengan lebih jeli. Apa benar tanda-tandanya sudah mulai terlihat?
Sebelum terlalu jauh, mari kita sepakati dulu apa itu fasisme. Dalam bentuk paling sederhananya, fasisme adalah sistem politik yang sangat otoriter. Ia menolak demokrasi, menekan perbedaan pendapat, memusatkan kekuasaan hanya pada segelintir orang, dan biasanya dibungkus rapi dengan jargon nasionalisme yang bombastis serta simbol-simbol kekuatan yang menakutkan. Saya nggak bilang Indonesia sudah sampai di titk itu. Tapi jujur saja ada beberapa hal yang belakangan ini membuat saya was-was.
Saya merasa kita sedang diarahkan untuk memuja tokoh-tokoh tertentu bukan karena prestasinya, tapi karena kekuatan media yang terus-menerus membentuk citra. Seolah olah hanya mereka yang layak hanya mereka yang bisa. Dan ketika dinasti politik mulai dianggap wajar jabatan strategis seperti diwariskan ke anak atau kerabat saya mulai mempertanyakan, masihkah demokrasi ini milk semua orang?
Lalu saya lihat bagaimana banyak lembaga demokrasi yang seharusnya jadi penyeimbang kekuasaan, malah terlihat melemah. KPK yang dulu kita banggakan, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya netral, DPR yang seharusnya mewakili rakyat semuanya tampak kehilangan daya. Keputusan-keputusan penting justru sering terasa hanya demi mempertahankan status quo. Sebagai warga negara, saya kecewa! Bukan cuma karena keputusan-keputusan itu merugikan, tapi karena mereka merusak kepercayaan publik yang susah payah dibangun.
Yang lebih menyedihkan lagi, suara berbeda kini semakin dianggap berbahaya. Saya punya teman yang mulai takut menulis opini di media sosial. Takut kena pasal karet takut dilaporkan, takut dipolisikan. Ketika kritik mulai dianggap ancaman, ketika kita nggak lagi bisa berbicara jujur tanpa rasa takut ituartinya pertanda buruk. Demokrasi bisa mati bukan hanya lewat kudeta atau senjata tetapi juga lewat ketakutan yang dibentuk perlahan.
Saya juga merasa perlu mempertanyakan kehadiran militer di ranah sipil. Saya nggak anti militer. Saya tahu peran mereka penting dalam menjaga kedaulatan. Tapi ketika mereka mulai masuk terlalu dalam ke jabatan sipil, ke proyek-proyek strategs, bahkan ke pengambilan keputusan sehari-hari saya jadi bertanya-tanya, apakah ini masih demokrasi sipil seperti yang kita harapkan dulu?
Belum lagi soal narasi. Hari ini, rasanya makin sulit membedakan mana informasi yang murni dan mana yang sudah disetel. Ada buzzer, ada framing media, ada manipulasi isu. Semua dibungkus rapi agar kita percaya pada narasi yang mereka pilihkan untuk kita. Tapi saat hanya segelintir pihak yang mengendalikan apa yang boleh dan tidak boleh kita pikirkan maka kita telah kehilangan kebebasan berpikir itu sendiri.
Meski begitu saya masih percaya kita belum terlambat. Demokrasi bisa diselamatkan tapi tidak dengan diam. Kita perlu aktif, terlibat dan terus belajar. Kita harus memahami politik, sejarah, dan kekuasaan bukan untuk menjadi ahli tapi agar kita tidak mudah ditipu. Kita harus tetap bersuara, cerdas dan damai.Jangan biarkan rasa takut membuat kita membisu. Media yang independen juga harus kita jaga. Mereka adalah salah satu tembok terakhir demokrasi kita. Tanpa pers yang jujur dan berani, kita akan hidup dalam dunia yang hanya memperdengarkan satu versi kebenaran.
Saya juga percaya pemimpin sejati bukanlah orang yang alergi pada kritik. Kalau seseorang tak bisa dikritik, bahkan tak bisa ditanyai keputusannya maka dia bukan pemimpin dalam sistem demokrasi. Dia hanya simbol dari kekuasaan yang ingin dipuja, bukan diawasi.
Demokrasi itu hak kita, tapi dia tidak datang sebagai hadiah. Dia diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata. Dan hari ini, tugas kita adalah menjaganya agar tidak hilang di tengah permainan kekuasaan dan manipulasi. Saya menulis ini bukan karena benci pada negeri ini tapi karena saya cinta Indonesia. Saya ingin negeri ini tetap menjadi tempat di mana semua orang bisa bicara, berpikir, dan bermimpi tanpa takut.
Kalau kamu juga merasakan hal yang sama, yuk jangan diam. Suara kita mungkin terdengar kecil, tapi kalau kita bersuara bersama, percayalah gema itu bisa sampai ke istana.